Rabu, 17 Desember 2008

adab dalam berdo'a

"Adab Berdoa". Menurut Muhammadiyah bahwa dalam berdoa ada empat adab yang perlu diperhatikan, yaitu;

1. Memulai berdoa dengan memuji Allah dan bershalawat atas Nabi Muhammad saw. Hal ini didasarkan pada riwayat Fudhalah bin Ubaid. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ. [رواه الترمذى]

Artinya: “Apabila salah seorang di antaramu berdoa, hendaklah ia memulai dengan mengagungkan dan memuji Tuhan yang Maha Agung dan Maha Perkasa, kemudian bershalawat untuk Nabi saw, setelah itu berdoa dengan doa yang dikehendaki.” [HR. at-Tirmidzi]

2. Dalam berdoa hendaklah dengan merendahkan diri dan dengan suara perlahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-A'raf (7): 55:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَ خُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".

3. Ketika akan mengakhiri doa hendaklah menutup dengan hamdalah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat Yunus (10): 10:

... وَءَاخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Artinya: “... dan penutup doa mereka adalah “al-hamdulillahi Rabbil-‘aalamiin”.”

4. Ketika berdoa dianjurkan dengan mengangkat tangan. Anjuran ini didasarkan pada hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا أَوْ قَالَ خَائِبَتَيْنِ (رواه ابن ماجه: الدعاء: رفع اليدين فى الدعاء)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyrin Bakar bin Khalafin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Adiyyi dari Ja'far ibnu Maimun dari Abu Utsman ra dari Salman dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Tuhanmu adalah "sangat malu" lagi Maha Pemurah, Dia merasa malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya, kemudian ditolak-Nya sama sekali atau sia-sia." [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi]

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab ad-Du'a, Bab Raf'u al-Yadain fi ad-Du'a dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awaat 'an Rasulillah, Bab fi Du'a an-Naby. Imam al-Hafidz Abil Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdur Rahim al-Kafury dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya mengangat tangan ketika berdo'a, dan hadits yang menunjukkan hal tersebut jumlahnya cukup banyak.

Adapun permasalahan yang saudara tanyakan juga telah dijawab oleh Tim Fatwa pada tahun 2003, dan untuk lebih jelasnya kami akan kutipkan ringkasan dari jawaban permasalahan sebagai berikut;

1. Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdoa baik ketika melaksanakan haji atau lainnya, di antaranya:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ [رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198]

Artinya: “Diceritakan dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198]

Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdoa jumlahnya cukup banyak seperti dalam kitab Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jum'ah, Bab Raf'ul-Yadain, Shahih al-Bukhari, kitab al-Hajj, Jilid 1 hal. 198, kitab Shahih Muslim Kitab shalat al-Istisqa, kitab Manasik al-Hajj dan kitab Sunan at-Tirmidzi.

2. Hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi berdoa tidak mengangkat tangan, di antaranya;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ [رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895]

Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdoa, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” [Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa,No 5/895]

Dari kedua hadits tersebut, di kalangan ulama ada dua pendapat, pertama - Jumhur Ulama - menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, dan Kedua, - sebagian ulama lagi - menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali hanya pada waktu istisqa saja. Dan kedua dalil tersebut tampak adanya ta’arud (pertentangan). Karena pada dalil-dalil tersebut tampak adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil yang tampak bertentangan.

Al-Qasthalaniy ketika mensyarah hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdoa, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya. Artinya, bahwa Nabi saw ketika berdoa juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdoa dalam istisqa’. (al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).

As-Shan’aniy, dalam kitabnya Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdoa jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdoa dalam istisqa’. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).

Kesimpulan :

Mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah sunnah atau mustahabb, dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdoa istisqa’. Adapun maksud dari hadits Anas yang menunjukkan bahwa Nabi saw ketika berdoa tidak mengangkat kedua tanganya kecuali dalam shalat istisqa’ adalah tidak berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam berdoa kita dianjurkan untuk mengangkat tangan yang tidak berlebih-lebihan.

Wallahu a'lam bish-shawab. *A.56h)

sumber : http://www.muhammadiyah.or.id

Tentang Shalat Khusufain

Muktamar Tarjih XX di Garut tanggal 18-23 Rabiul Akhir 1386 / 18-23 April 1976 telah menetapkan keputusan tentang salat kusufain (salat gerhana matahari dan Bulan). Matan keputusan itu berbunyi,

Apabila terjadi gerhana matahari atau bulan, hendaknya Imam menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah,” kemudian ia pimpin orang banyak mengerjakan shalat dua raka’at; pada tiap rakaat berdiri dua kali, ruku’ dua kali, sujud dua kali, serta pada tiap rakaat membaca Fatihah dan surat yang panjang dan suara nyaring; dan pada tiap ruku’ dan sujud membaca tasbih lama-lama.

Ketika telah selesai shalat ketika orang-orang masih duduk, Imam berdiri menyampaikan peringatan dan mengingatkan mereka akan tanda-tanda kebesaran Allah serta menganjurkan mereka agar memperbanyak membaca istighfar, sedekah dan segala amalan yang baik.

Istilah gerhana dalam hadis-hadis disebut kusuf atau khusuf dan kedua istilah ini dalam hadis dapat dipertukarkan penggunaannya. Hanya saja dalam literatur fikih dan di kalangan fukaha, biasanya kata kusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan khusuf untuk menyebut gerhana Bulan. Sering juga digunakan bentuk ganda “kusufain” untuk menyebut gerhana matahari dan gerhana Bulan sekaligus.

B. Dasar Syari Salat Gerhana

Dasar syari salat gerhana matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,

عن عَائِشَةَ أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلاَةَ جَامِعَةً فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ [رواه البخاري واللفظ له ، ومسلم ، وأحمد] .

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw, maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jamiah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].

عن أبي مَسْعُودٍ قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ من الناس وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَقُومُوا فَصَلُّوا [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a., ia berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].

Hadis pertama merupakan sunnah fikliah yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.

C. Cara Melaksanakan Salat Kusufain

1. Apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan salat kusuf dan Imam menyerukan ash-shalatu jamiah. Salat kusuf dilaksanakan berjamaah, serta tanpa azan dan tanpa iqamah.

Dasarnya adalah hadis ‘Aisyah yang dikutip terdahulu di mana Imam menyerukan salat berjamaah, dan dalam hadis itu tidak ada azan dan iqamah.

2. Salat kusufain dilakukan dua rakaat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam dan sujud dua kali pada masing-masing rakaat.

Dasarnya adalah hadis Aisyah yang telah dikutip di atas, dan juga hadis an-Nasa’i berikut,

عن عَائِشَةَ قالت كَسَفَتْ الشَّمْسُ فَأَمَرَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً فَنَادَى أَنْ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَكَبَّرَ ... ... ... ثُمَّ تَشَهَّدَ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ فِيهِمْ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فَأَيُّهُمَا خُسِفَ بِهِ أو بِأَحَدِهِمَا فأفزعوا إلى اللَّهِ عز وجل بِذِكْرِ الصَّلاَةِ [رواه النسائي] .

Artinya: Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari lalu Rasulullah saw memerintahkan seseorang menyerukan ash-shalata jamiah. Maka orang-orang berkumpul, lalu Rasulullah saw salat mengimami mereka. Beliau bertakbir ... ... ..., kemudian membaca tasyahhud, kemudian mengucapkan salam. Sesudah itu beliau berdiri di hadapan jamaah, lalu bertahmid dan memuji Allah, kemudian berkata: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Maka apabila yang mana pun atau salah satunya mengalami gerhana, maka segeralah kembali kepada Allah dengan zikir melalui salat [HR al-Bukhari].

3. Pada masing-masing rakaat dibaca al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).

4. Setelah membaca al-Fatihah dan surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk dengan membaca tasbih yang lama, kemudian mengangkat kepala dengan membaca samiall±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu membaca al-Fatihah dan surat panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil membaca tasbih yang lama tetapi lebih singgkat dari yang pertama, kemudian bangkit dari rukuk dengan membaca samiall±hu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah itu mengerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.

Dasar butir ke-3 dan ke-4 adalah,

عن عَائِشَةَ أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم جَهَرَ في صَلاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ [رواه البحاري ومسلم ، واللفظ له]

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat khusuf; beliau salat dua rakaat dengan empat rukuk dan sujud [HR al-Bukhari dan Muslim, lafal ini adalah lafal Muslim].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلاةِ الْكُسُوفِ [رواه ابن حبان والبيهقي وأبو نعيم في المستخرج]

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat kusuf [HR Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Abu Nuaim dalam al-Mustakhraj].

عن عَائِشَةَ زَوْجِ النبي صلى الله عليه وسلم قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في حَيَاةِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَخَرَجَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ الناس وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فقال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قام فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى من الْقِرَاءَةِ اْلأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً هو أَدْنَى من الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ -ولم يذكر أبو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ- ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ اْلأُخْرَى مِثْلَ ذلك حتى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قبل أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قام فَخَطَبَ الناس فَأَثْنَى على اللَّهِ بِمَا هو أَهْلُهُ ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ [رواه مسلم]

Artinya: Dari Aisyah, isteri Nabi saw, (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa hidup Nabi saw. Lalu beliau keluar ke mesjid, kemudian berdiri dan bertakbir dan orang banyak berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah saw membaca (al-Fatihah dan surat) yang panjang, kemudian bertakbir, lalu rukuk yang lama, kemudian mengangkat kepalanya sambil mengucapkan samiall±hu liman ¥amidah rabban± wa lakal-¥amd, lalu berdiri lurus dan membaca (al-Fatihah dan surat) yang panjang, tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir lalu rukuk yang lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama, kemudian mengucapkan samiall±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian beliau sujud. [Abu Thahir tidak menyebutkan sujud]. Sesudah itu pada rakaat terakhir (kedua) beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, sehingga selesai mengerjakan empat rukuk dan empat sujud. Lalu matahari terang (lepas dari gerhana) sebelum beliau selesai salat. Kemudian sesudah itu beliau berdiri dan berkhutbah kepada para jamaah di mana beliau mengucapkan pujian kepada Allah sebagaimana layaknya, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka segeralah salat [HR al-Bukhari].

Perlu dijelaskan bahwa dua prasa faqtara’a qira’atan tawilatan dalam hadis Muslim yang disebutkan terakhir di atas diinterpretasi sebagai membaca al-Fatihah dan suatu surat panjang, karena tidak sah salat tanpa membaca al-Fatihah. Karena farsa pertama difahami sebagai membaca al-Fatihah dan surat panjang, maka frasa kedua yang sama dengan frasa pertama tentu juga difahami sama. Jadi pada waktu berdiri pertama dalam rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan surat panjang, maka pada berdiri kedua dalam rakaat pertama juga dibaca al-Fatihah dan surat panjang.

Pemahaman seperti ini dikemukakan oleh sejumlah ulama. Imam asy-Syafi’’i dalam kitab al-Umm menyatakan,

Dalam salat kusuf imam berdiri lalu bertakbir kemudian membaca al-Fatihah seperti halnya dalam salat fardu. Kemudian pada berdiri pertama setelah al-Fatihah, imam membaca surat al-Baqarah jika ia menghafalnya atau kalau tidak hafal, membaca ayat al-Quran lain setara surat al-Baqarah. Kemudian ia rukuk yang lama ... ... ..., kemudian bangkit dari rukuk sambil membaca samiallahu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian membaca Ummul-Quran dan surat setara dua ratus ayat al-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ... dan sujud. Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, lalu membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus lima puluh ayat al-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ..., lalu bangkit dari rukuk, lalu membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus ayat bal-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ... dan sujud [al-Umm, I: 280].

Kemudian asy-Syafii menjelaskan lagi bahwa apabila tertinggal membaca surat dalam salah satu dari dua berdiri itu, maka salatnya sah apabila ia membaca al-Fatihah pada permulaan rakaat dan sesudah bangkit dari rukuk pada setiap rakaat. Apabila ia tidak membaca al-Fatihah dalam satu rakaat salat kusuf pada berdiri pertama atau pada berdiri kedua, maka rakaat itu dianggap tidak sah. Namun ia meneruskan rakaat berikutnya, kemudian melakukan sujud sahwi, seperti hal ia apabila ia tidak membaca al-Fatihah dalam salah satu rakaat pada salat fardu di mana rakaat itu tidak sah [al-Umm, I: 280].

Hal yang sama dikemukakan pula oleh fukaha-fukaha yang lain. Al-Abdar³ (w. 897/1492), seorang fakih Maliki, mengutip al-Maziri yang menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk dibaca al-Fatihah dan suatu surat panjang, dan pada rakaat kedua juga demikian, artinya membaca al-Fatihah sebelum membaca masing-masing surat [at-Taj wa al-Iklil, II: 201]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223) dalam dua kitab fikihnya juga menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk pertama dibaca al-Fatihah dan surat pendek baik pada rakaat pertama maupun pada rakaat kedua [al-Kafi, I: 337-338; dan al-Mughni, II: 143].

5. Setelah selesai salat gerhana imam berdiri sementara para jamaah masih duduk, dan menyampaikan khutbah yang berisi wejangan serta peringatan akan tanda-tanda kebesaran Allah serta mendorong mereka memperbanyak istigfar, sedekah dan berbagai amal kebajikan. Khutbahnya satu kali karena dalam hadis tidak ada pernyataan khutbah dua kali.

Dasarnya adalah:

عَائِشَةَ أنها قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قام فَأَطَالَ الْقِيَامَ وهو دُونَ الْقِيَامِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وهو دُونَ الرُّكُوعِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ما فَعَلَ في اْلأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وقد انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ الناس فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ ينخسفان لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمْ ذلك فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ... ... ... [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم ومالك] .

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw. Lalu beliau salat bersama orang banyak. Beliau berdiri dan melamakan berdirinya kemudian rukuk dan melamakan rukuknya, kemudian berdiri lagi dan melamakan berdirinya, tetapi tidak selama berdiri yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan melamakan rukuknya, tetapi tidak selama rukuk yang pertama, kemudian sujud dan melamakan sujudnya. Kemudian pada rakaat kedua beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama. Kemudian beliau menyudahi salatnya sementara matahari pun terang kembali. Kemudian beliau berkhutbah kepada jamaah dengan mengucapkan tahmid dan memuji Allah, serta berkata: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, salat dan bersedekahlah... ... ... [al-Bukhari, lafal ini adalah lafalnya, juga Muslim dan Malik].

... ... ... فإذا رَأَيْتُمْ منها شيئا فَافْزَعُوا إلى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ [رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى]

Artinya: ... ... ... Maka apabila kamu melihat hal tersebut terjadi (gerhana), maka segeralah melakukan zikir, doa dan istigfar kepada Allah [HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa].

D. Waktu Pelaksanaan Salat Kusufain

Salat kusufain dilaksanakan pada saat terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,

عَنِ الْمُغِيرَةِ بنِ شُعْبَةَ قال انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يوم مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فقال الناس انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إبراهيم فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ [رواه البخاري]

Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syubah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].

Dalam hadis ini digunakan kata idz± (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kus­f al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juzi) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).

Ibn Qud±mah menegaskan,

Waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat gerhana ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ... ... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].

Imam ar-Rafii menegaskan,

Sabda Nabi saw Apabila kamu melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana) menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan. Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari yang keluar dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak (maksudnya waktu salat gerhana belum berakhir) dan seseorang (yang belum melaksanakan salat gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana hanya sebagian saja (V: 340).

Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].

E. Orang Yang Melakukan Salat Kusufain

Dari penegasan pada sub D di atas, maka dapat difahami bahwa salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami gerhana tidak melakukan salat kusufain. Dasarnya adalah hadis yang disebutkan terakhir [huruf D] di atas yang mengandung kata ra’aitum (‘kamu melihat’), yaitu mengalami gerhana secara langsung, serta kenyataan bahwa Rasulullah saw melaksanakan salat gerhana ketika mengalaminya secara langsung. Hal ini sesuai pula dengan interpretasi para fukaha bahwa apabila gerhana berakhir, berakhir pula waktu salat gerhana, dan apabila matahari tenggelam dalam keadaan gerhana juga berakhir waktu salat gerhana matahari. Tenggelamnya matahari jelas terkait dengan lokasi atau kawasan tertentu sehingga orang yang tidak lagi mengalami gerhana karena matahari telah tenggelam di balik ufuk, tidak melakukan salat gerhana. Begitu pula pula apabila gerhana bulan terjadi di waktu pagi menjelang terbitnya matahari, maka waktu salat gerhana bulan berakhir dengan terbitnya matahari. Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menegaskan,

فإن صَلاَةَ اْلكُسُوْفِ وَاْلخُسُوْفِ لاَ تُصَلَّى إِلاَّ إِذَا شَاهَدْناَ ذَلِكَ [مجموع الفتاوى ، 24: 258] .

Artinya: Sesungguhnya salat gerhana matahari dan gerhana Bulan tidak dilaksanakan kecuali apabila kita menyaksikan gerhana itu [Majmu al-Fatawa, 24: 258].

Perempuan juga ikut melaksanakan salat kusufain karena keumuman perintah melaksanakan salat gerhana dalam hadis-hadis yang dikutip di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab. *sy)

http://www.muhammadiyah.or.id

Tiga Pendekatan Dalam Mencari Kebenaran

Yogyakarta-Semangat pemahaman agama dalam tarjih adalah tajdid yang sesuai dengan identitas gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Tajdid memiliki dua arti, yaitu dalam bidang akidah, dan ibadah bermakna pemurnian, dan dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman,” ungkap Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. saat menyampaikan materi manhaj tarjih pada pelatihan ketarjihan dan hisab rukyat, Jum’at-Selasa (1-5/2008) di ruang laboratorium Information Technology Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IT UMY).

Dia menambahkan, pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), sejalan dengan epistimologi tersebut, Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan bayan, pendekatan irfan, dan pendekatan burhan, jelas pria yang juga menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Dalam pelatihan yang diikuti 60 peserta dari perwakilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se- Indonesia, Syamsul mengatakan pendekatan bayan adalah pendekatan untuk memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh. Untuk itu, pendekatan bayan mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab al-nuz­l, dan istinbath atau istidlal sebagai metodenya, karena dominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi, kata Syamsul.

Pada pendekatan burhan, menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan, dan hukum-hukum logika. Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan, tegas Syamsul. Pendekatan irfan bersifat subyektif, implikasi dari pendekatan irfan dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama, tambah Syamsul.

Di tempat lain, Dr. Imamuddin Yuliadi, S.E., M.Si. selaku ketua panitia pelatihan yang bekerjasama antara Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), dan Pusat Studi Falak UMY dengan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berharap dengan pelatihan ini dapat terbentuk wawasan, dan persepsi yang sama mengenai manhaj tarjih, dan metode penentuan awal bulan kamariah, serta muncul kader-kader di bidang ketarjihan, dan hisab rukyat.

sumber : http://www.muhammadiyah.or.id

Senin, 24 November 2008

Muhammadiyah Day

Ahad kliwon tanggal 23 November 2008 kemarin, Muhammadiyah kab temanggung mengadakan pengajian bersama pada hari bermuhammadiyah. Pengajian dengan pembicara Drs. H.Anhar Anshori dari MTDK PP Muhammadiyah dilaksanakan di PCM Gemawang tepatnya di Halaman MI Muhammadiyah Kalibanger. Acara pada kesempatan kali ini merupakan putaran terakhir di penghujung tahun 2008. Berbagai acara pendukung diselenggarakan untuk memeriahkan hari Bermuhammadiyah tersebut, ada pentas seni, ada Bayar buku, bayar makanan dan kegiatan pendukung lainnya. Hcara yang diadakan setiap ahad kliwon ini selain sebagai syiar dan dakwah juga menjadi ajang berukuwah sesama warga muhammadiyah di kab. temanggung. Hari bermuhamadiyah ini selalu mendapat respon yang bagus dari warga muhammadiyah di temanggung, itu ditunjukkan dengan antusias warga yang datang pada acara tersebut.

Sabtu, 15 November 2008

Qurban

Pengertian Qurban Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) - yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

Hukum Qurban Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Keutamaan Qurban Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW : “Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW : “Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

Waktu dan Tempat Qurban a. Waktu Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW : “Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW : “Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

b. Tempat Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Qurban

Jenis Hewan Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman : “…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

Jenis Kelamin Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

Umur Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

Kondisi Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

  • yang nyata-nyata buta sebelah,
  • yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
  • yang nyata-nyata pincang jalannya,
  • yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
  • yang tidak ada sebagian tanduknya,
  • yang tidak ada sebagian kupingnya,
  • yang terpotong hidungnya,
  • yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
  • yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Disadur dari : Swaramuslim.net

Wajib Haji

Wajib adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, bila ditinggalkan, maka harus membayar dam. Wajib Haji 7, yaitu: 1. Ihram dari mikat 2. Wukuf di Arafah 3. Bermalam di Mazdalifah 4. Bermalam di Mina 5. Mencukur atau memotong rambut, mencukur lebih afdal 6. Melempar jumrah 7. Tawaf wada' Seluruh mazhab sepakat tentang fardu dan wajib di dalam haji.

Fardu Haji

Fardu adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, sah haji bergantung kepadanya dan tidak dapat diganti dengan dam. Fardu mencakup rukun dan syarat. Fardu Haji 4, yaitu: 1. Ihram 2. Wukuf di Arafah 3. Tawaf Ifadah 4. Sai antara Safa dan Marwa Seluruh mazhab sepakat tentang fardu dan wajib di dalam haji.

Jenis-Jenis Haji

Haji Tamattu

Yaitu melaksanakan umrah pada bulan-bulan haram, kemudian melaksanakan haji di tahun yang sama. Dalam hal ini, seorang muslim yang hendak melaksanakan haji tamattu` hendaknya berniat tamattu` sejak ia melangkahkan kaki meniggalkan negerinya, dengan berniat umrah saja seterusnya berihram dan mengucapkan:

لبيك اللهم بعمرة متمتعا بها إلى الحج

اللهم إِني أريد العمرة فيسرها لى، وتقبلها مني، نويت العمرة وأحرمت بها لله تعالى

Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dengan umrah dan haji secara tamattu`, Ya Allah! Aku hendak melaksanakan umrah, berilah kemudahan bagiku dan terimalah umrahku, Aku berniat ihram untuk umrah karena Allah Taala. "

Sesampainya di Mekah, melaksanakan tawaf tujuh putaran dan Sai antara Safa dan Marwa tujuh putaran juga, lantas tahallul dari ihram dengan mencukur atau menggunting rambut. Selanjutnya tetap dalam kondisi tidak ihram sampai hari Tarawiyah yaitu tanggal 8 Zulhijah. Pada saat itu, dia mulai berihram haji dari tempat tinggalnya dan mengucapkan:

لبيك حجا اللهم إِني أريد الحج فيسره لى، وتقبله مني، نويت الحج وأحرمت به لله تعالى

Artinya, " Aku penuhi panggilanmu untuk haji, Ya Allah ! Aku hendak melaksanakan haji, berilah kemudahan bagiku dan terimalah hajiku. Aku berniat ihram untuk haji karena Allah Taala. "

Kemudian bertalbiah dan dilanjutkan dengan doa:

لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك

Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, segala nikmat dan segala kekuasaan hanyalah untuk-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. "

اللهم إني أحرم لك شعري وبشري، وجسدي وجميع جوارحي، من الطيب والنساء، شيء حرمته على المحرم وأبتغي بذلك وجهك الكريم، يا رب العالمين

Artinya, " Ya Allah! Demi Engkau aku haramkan rambutku, kulitku, tubuhku, dan seluruh anggota badanku dari wewangian dan wanita, sesuatu yang Engkau haramkan bagi orang yang sedang ihram. Aku melakukannya semata-mata hanya karena-Mu, Wahai Tuhan semesta alam. "

Selanjutnya melaksanakan semua amalan yang harus dilaksanakan dalam haji ifrad. Untuk yang melaksanakan haji Tamattu` diwajibkan membayar dam karena ia telah bersenang-senang melaksanakan umrah pada bulan-bulan haram. Allah Taala berfirman yang artinya, " Siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (dia wajib menyembelih) kurban yang mudah didapat."

awaf umrah bagi yang berhaji tamattu` tidak perlu didahului dengan tawaf qudum. Setelah tahallul pertama (setelah melontar jumrah aqabah dan bercukur) langsung melaksanakan tawaf ifadah dan Sai antara Safa dan Marwa. Ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Adapun menurut mazhab Hanafi, bagi orang yang berhaji tamattu` dan belum membawa binatang ternak, tidak dikenakan dam tetapi jika telah membawa binatang ternak maka hukumnya seperti haji qiran.


Haji Qiran

Yaitu menyatukan ihram untuk umrah dan haji pada satu kali bepergian. Niat ihram untuk umrah dan haji dalam waktu yang sama dari miqat sambil mengucapkan:

لبيك حجا وعمرة

Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu haji dan umrah." Orang yang sedang berhaji qiran, sesampainya di Mekah langsung melaksanakan tawaf tujuh putaran, dengan berlari-lari kecil dalam tiga putaran pertama, kemudian Sai antara Safa dan Marwa. Selanjutnya menurut mazhab Hanafi dia memulai ibadah hajinya seperti haji ifrad tetapi menurut sebagaian besar ulama, haji qiran cukup dengan satu tawaf dan satu Sai, jika sudah selesai ia bertahallul dari umrah dan haji sekaligus.


Haji Ifrad

Yaitu melakukan ihram hanya untuk haji dengan niat haji sejak dari rumah di kampung asalnya. Memulai ihram untuk haji dilakukan dari miqat dengan mengucapkan:

اللهم إني أريد الحج فيسره لى وتقبله مني

Artinya, "Ya Allah! Sesungguhnya aku berniat melaksanakan haji, berikanlah kemudahan dan terimalah hajiku, " kemudian membaca talbiah. Sesampainya di kota Mekah, dia langsung pergi menuju Masjidil haram. Di saat melihat Kakbah disunatkan bertakbir dan bertalbiah. Bagi yang bukan penduduk Mekah diwajibkan melaksanakan tawaf qudum tujuh putaran, dengan menyelendangkan kain ihramnya --ke pundak kanan sampai menutupnya dan membiarkan pundak kiri terbuka--, pada tiga putaran pertama tawaf. Menurut sebagian besar ulama, disunatkan lari-lari kecil, sedangkan menurut mazhab Maliki, lari-lari kecil pada tiga putaran pertama ini hukumnya wajib. Khusus untuk penduduk Mekah atau yang mukim di Mekah tidak wajib melaksanakan tawaf qudum. Seletah tawaf, dilanjutkan dengan Sai antara Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali, setelah itu menetap di Mekah, dalam keadaan ihram hingga tiba saat berangkat ke Mina pada hari Tarwiah (tanggal 8 Zulhijah). Wukuf di Mina sampai waktu salat Subuh hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah), kemudian menuju Arafah dan wukuf di sana. Salat Zuhur dan Asar dilaksanakan pada waktu Zuhur (Jamak taqdim). Ketika matahari mulai terbenam, jamaah haji bertolak menuju Muzdalifah dan melaksanakan salat Magrib dan Isya (jamak takhir) serta bermalam di sana. Ketika matahari terbit di pagi hari raya Kurban, mereka bertolak menuju Mina untuk melontar Jumrah Aqabah. Jamaah haji baru berhenti membaca talbiah bersamaan dengan lontaran pertama. Kemudian boleh menyembelih kurban, --opsional-- pada saat ini atau langsung menggunting rambut. Dengan demikian telah halal baginya segala yang dilarang ketika ihram kecuali berhubungan dengan wanita (bersenggama). Setelah itu berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan tawaf Ziarah sebanyak tujuh putaran. Bagi yang belum melaksanakan Sai ketika melakukan tawaf qudum, ia berkewajiban melaksanakannya antara Safa dan Marwa setelah tawaf ziarah ini. Setelah itu sudah halal baginya bersenggama dengan wanita. Kemudian kembali ke Mina untuk mabit (bermalam) sampai melontar tiga jumrah baik dua kali lontaran (tanggal 11 dan 12 Zulhijah) maupun tiga kali melontar (ditambah tanggal 13 Zulhijah). Selanjutnya berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan tawaf wada`.

Sumber : http://hajj.al-islam.com

Haji Badal

Barangsiapa yang mampu menyambut panggilan haji, kemudian karena sakit atau lanjut usia tidak dapat melaksanakannya, maka dia diharuskan meminta orang lain untuk menghajikannya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Fadl bin Abbas ra. Bahwa seorang wanita dari Bani Khats'am berkata, "Wahai Rasulullah saw.! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada hamba-Nya, bapakku seorang yang sudah berumur, tidak mampu mengadakan perjalanan, apakah boleh aku menghajikannya?" Rasulullah saw. menjawab, "Boleh." Ini pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Sementara Imam Malik berkata, "Tidak wajib." Apabila seorang yang sakit setelah dihajikan sembuh, maka kewajiban hajinya tidak gugur. Yang bersangkutan wajib mengulanginya. Menurut Imam Ahmad kewajibannya telah gugur. Barangsiapa yang melaksanakan haji nazar sementara dia belum melaksanakan haji Islamnya, maka haji nazarnya itu dibalas sebagai haji Islam dan setelah itu ia harus menunaikan haji nazarnya. Barangsiapa yang meninggal dunia, belum malaksanakan haji Islam atau haji nazar, maka walinya wajib untuk menunaikan haji tersebut dengan biaya dari harta si mayit. Ini pendapat ulama Syafi'i dan Hambali. Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, "Ahli waris tidak wajib menghajikan si mayit kecuali jika si mayit mewasiatkannya, maka ia dihajikan dengan biaya tidak lebih dari sepertiga harta warisan." Orang yang melaksanakan haji badal disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk dirinya baik mampu atau tidak. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas r.a., Bahwa Rasulullah saw. mendengar seorang laki-laki berkata, "Aku penuhi panggilan-Mu untuk Syabramah." Rasulullah saw. bertanya, "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu?" Ia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Hajilah untuk dirimu kemudian laksanakan haji untuk Syabramah." Sumber : http://hajj.al-islam.com

Pernyataan Jelang satu Abad

Bismillahirrahmanirrahim Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang berjalan hampir satu abad pada hakikatnya merupakan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. Dengan modal keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat luas Muhammadiyah tidak kenal lelah melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan kemajuan tersebut ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa di negeri ini.Namun disadari pula masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan langkah-langkah strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak lain untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.
Karena itu dengan senantiasa mengharapkan ridha dan pertolongan Allah SWT Muhammadiyah dalam usia dan kiprahnya jelang satu abad ini menyampaikan pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) sebagai berikut:
A. Komitmen Gerakan
  1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
  2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan. Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi (pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia.
  3. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan.
B. Pandangan Keagamaan
  1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
  2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
  3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: ”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
  4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
C. Pandangan tentang Kehidupan
  1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang harmoni.
  2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi.
  3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral tinggi.
D. Tanggungjawab Kebangsaan dan Kemanusiaan
  1. Muhammadiyah memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan semakin memperparah krisis nasional. Wabah masalah tersebut menjadi beban nasional yang semakin berat dengan timbulnya berbagai musibah dan bencana nasional seperti terjadi di Aceh, Nias, dan daerah-daerah lain yang memperlemah dayatahan bangsa. Krisis dan masalah tersebut bahkan akan semakin membebani tubuh bangsa ini jika dipertautkan dengan kondisi sumberdaya manusia, ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur nasional maupun lokal yang jauh tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa lain.
  2. Bangsa Indonesia juga tengah berada dalam pertaruhan ketika berhadapan dengan perkembangan dunia yang berada dalam cengkeraman globalisasi, politik global, dan berbagai tarik-menarik kepentingan internasional yang diwarnai hegemoni dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Indonesia bahkan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. Jika tidak memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kookoh maka bangsa ini juga akan terombang-ambing dalam hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh konflik dan kepentingan. Pada saat yang sama bangsa ini juga tengah berhadapan dengan relasi-relasi baru yang dibawa oleh multikulturalisme yang memerlukan orientasi kebudayaan dan tatanan sosial baru yang kokoh.
  3. Dalam menghadapi masalah dan tantangan internal maupun eksternal itu bangsa Indonesia memerlukan mobilisasi seluruh potensi dan kemampuan baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal sosial-kultural, dan berbagai dayadukung nasional yang kuat dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi yang sangat penuh pertaruhan dan sarat tantangan tersebut maka sangat diperlukan kepemimpinan yang handal dan visioner baik yang didukung kemampuan masyarakat yang mandiri baik di ingkat nasional maupun lokal agar berbagai masalah, tantangn, dan potensi bangsa ini mampu dihadapi serta dikelola dengan sebaik-baiknya.
  4. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim juga tidak lepas dari perkembangan yang dihadapi saudara-saudaranya di dunia Islam. Mayoritas dunia Islam selain dililit oleh masalah-masalah nasional masing-masing, pada saat yang sama berada dalam dominasi dan hegemoni politik Barat yang banyak merugikan kepentingan-kepentingan dunia Islam. Sementara antar dunia Islam sendiri selain tidak terdapat persatuan yang kokoh, juga masih diwarnai oleh persaingan dan konflik yang sulit dipertemukan, sehingga semakin memperlemah posisi umat Islam dalam percaturan internasional. Kendati begitu, masih terdapat secercah harapan ketika Islam mulai berkembang di neger-negeri Barat dan terjadi perkembangan alam pikiran baru yang membawa misi perdamaian, kemajuan, dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
E. Agenda dan Langkah Ke Depan
  1. Dalam menghadapi masalah bangsa, umat Islam, dan umat manusia sedunia yang bersifat kompleks dan krusial sebagaimana digambarkan itu Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan nasional akan terus memainkan peranan sosial-keagamaannya sebagaimana selama ini dilakukan dalam perjalanan sejarahnya. Usia jelang satu abad telah menempa kematangan Muhammadiyah untuk tidak kenal lelah dalam berkiprah menjalankan misi da’wah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Jika selama ini Muhammadiyah telah menorehkan kepeloporan dalam pemurnian dan pembaruan pemikrian Islam, pengembangan pendidikan Islam, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, serta dalam pembinaan kecerdasan dan kemajuan masyarakat; maka pada usianya jelang satu abad ini Muhammadiyah selain melakukan revitalisasi gerakannya juga berikhtiar untuk menjalankan peran-peran baru yang dipandang lebih baik dan lebih bermasalahat bagi kemajuan peradaban.
  2. Peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan da’wah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik-praktik (politik kepartaian) yang bersifat jangka pendek dan sarat konflik kepentingan. Dengan bingkai Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberanrasan korupsi, penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan sumberdaya manusia, penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh integrasi nasional, membangun karakter dan moral bangsa, serta peran-peran kebangsaan lainnya yang bersifat pencerahan. Muhammadiyah juga akan terus menjalankan peran dan langkah-langkah sistematik dalam mengembangkan kehidupan masyarakat madani (civil society) melalui aksi-aksi da’wah kultural yang mengrah pada pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis, otonom, berkeadilan, dan berakhlak mulia.
  3. Dalam pergaulan internasional dan dunia Islam, Muhammadiyah juga terpanggil untuk menjalankan peran global dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, adil, maju, dan berkeadaban. Muhammadiyah menyadari pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neo-liberal yang sangat mencengkeram perkembangan masyarakat dunia saat ini. Dalam perkembangan dunia yang sarat permasalahan dan tantangan yang kompleks di abad ke-21 itu Muhammadiyah dituntut untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan berperadaban mulia.
  4. Khusus bagi umat Islam baik di tingkat lokal, naional, maupun global Muhammadiyah dituntut untuk terus maminkan peran da’wah dan tajdid secara lebih baik sehingga kaum muslimin menjadi kekuatan penting dan menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban di era modern yang penuh tantangan ini. Era kebangkitan Islam harus terus digerakkan ke arah kemajuan secara signifikan dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam. Umat Islam harus tumbuh menjadi khaira ummah yang memiliki martabat tinggi di hadapan komunitas masyarakat lain di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tengah dinamika umat Islam yang semacam itu Muhammadiyah harus tetap istiqamah dan terus melakukan pembaruan dalam menjalankan dan mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang tercinta ini.
Demikian Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad sebagai ungkapan keyakinan, komitmen, pemikiran, sikap, dan ikhtiar mengenai kehadiran dirinya sebagai Gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid dalam memasuki usianya hampir seratus tahun. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad tersebut menjadi bingkai dan arah bagi segenap anggota dan pimpinan Persyarikatan baik dalam menghadapi perkembangan kehidupan maupun dalam melaksanakan usaha-usaha menuju tercapainya tujuan Muhammadiyah yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akhirnya, dengan senantiasa memohon ridha dan karunia Allah SWT., semoga kiprah Muhammadiyah di pentas sejarah ini membawa kemasalahatn bagi hidup umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Nashr min Allah wa fath qarib.
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template