Rabu, 17 Desember 2008

adab dalam berdo'a

"Adab Berdoa". Menurut Muhammadiyah bahwa dalam berdoa ada empat adab yang perlu diperhatikan, yaitu;

1. Memulai berdoa dengan memuji Allah dan bershalawat atas Nabi Muhammad saw. Hal ini didasarkan pada riwayat Fudhalah bin Ubaid. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ. [رواه الترمذى]

Artinya: “Apabila salah seorang di antaramu berdoa, hendaklah ia memulai dengan mengagungkan dan memuji Tuhan yang Maha Agung dan Maha Perkasa, kemudian bershalawat untuk Nabi saw, setelah itu berdoa dengan doa yang dikehendaki.” [HR. at-Tirmidzi]

2. Dalam berdoa hendaklah dengan merendahkan diri dan dengan suara perlahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-A'raf (7): 55:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَ خُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".

3. Ketika akan mengakhiri doa hendaklah menutup dengan hamdalah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat Yunus (10): 10:

... وَءَاخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Artinya: “... dan penutup doa mereka adalah “al-hamdulillahi Rabbil-‘aalamiin”.”

4. Ketika berdoa dianjurkan dengan mengangkat tangan. Anjuran ini didasarkan pada hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا أَوْ قَالَ خَائِبَتَيْنِ (رواه ابن ماجه: الدعاء: رفع اليدين فى الدعاء)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyrin Bakar bin Khalafin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Adiyyi dari Ja'far ibnu Maimun dari Abu Utsman ra dari Salman dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Tuhanmu adalah "sangat malu" lagi Maha Pemurah, Dia merasa malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya, kemudian ditolak-Nya sama sekali atau sia-sia." [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi]

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab ad-Du'a, Bab Raf'u al-Yadain fi ad-Du'a dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awaat 'an Rasulillah, Bab fi Du'a an-Naby. Imam al-Hafidz Abil Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdur Rahim al-Kafury dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya mengangat tangan ketika berdo'a, dan hadits yang menunjukkan hal tersebut jumlahnya cukup banyak.

Adapun permasalahan yang saudara tanyakan juga telah dijawab oleh Tim Fatwa pada tahun 2003, dan untuk lebih jelasnya kami akan kutipkan ringkasan dari jawaban permasalahan sebagai berikut;

1. Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdoa baik ketika melaksanakan haji atau lainnya, di antaranya:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ [رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198]

Artinya: “Diceritakan dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198]

Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdoa jumlahnya cukup banyak seperti dalam kitab Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jum'ah, Bab Raf'ul-Yadain, Shahih al-Bukhari, kitab al-Hajj, Jilid 1 hal. 198, kitab Shahih Muslim Kitab shalat al-Istisqa, kitab Manasik al-Hajj dan kitab Sunan at-Tirmidzi.

2. Hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi berdoa tidak mengangkat tangan, di antaranya;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ [رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895]

Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdoa, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” [Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa,No 5/895]

Dari kedua hadits tersebut, di kalangan ulama ada dua pendapat, pertama - Jumhur Ulama - menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, dan Kedua, - sebagian ulama lagi - menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali hanya pada waktu istisqa saja. Dan kedua dalil tersebut tampak adanya ta’arud (pertentangan). Karena pada dalil-dalil tersebut tampak adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil yang tampak bertentangan.

Al-Qasthalaniy ketika mensyarah hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdoa, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya. Artinya, bahwa Nabi saw ketika berdoa juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdoa dalam istisqa’. (al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).

As-Shan’aniy, dalam kitabnya Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdoa jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdoa dalam istisqa’. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).

Kesimpulan :

Mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah sunnah atau mustahabb, dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdoa istisqa’. Adapun maksud dari hadits Anas yang menunjukkan bahwa Nabi saw ketika berdoa tidak mengangkat kedua tanganya kecuali dalam shalat istisqa’ adalah tidak berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam berdoa kita dianjurkan untuk mengangkat tangan yang tidak berlebih-lebihan.

Wallahu a'lam bish-shawab. *A.56h)

sumber : http://www.muhammadiyah.or.id

Tentang Shalat Khusufain

Muktamar Tarjih XX di Garut tanggal 18-23 Rabiul Akhir 1386 / 18-23 April 1976 telah menetapkan keputusan tentang salat kusufain (salat gerhana matahari dan Bulan). Matan keputusan itu berbunyi,

Apabila terjadi gerhana matahari atau bulan, hendaknya Imam menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah,” kemudian ia pimpin orang banyak mengerjakan shalat dua raka’at; pada tiap rakaat berdiri dua kali, ruku’ dua kali, sujud dua kali, serta pada tiap rakaat membaca Fatihah dan surat yang panjang dan suara nyaring; dan pada tiap ruku’ dan sujud membaca tasbih lama-lama.

Ketika telah selesai shalat ketika orang-orang masih duduk, Imam berdiri menyampaikan peringatan dan mengingatkan mereka akan tanda-tanda kebesaran Allah serta menganjurkan mereka agar memperbanyak membaca istighfar, sedekah dan segala amalan yang baik.

Istilah gerhana dalam hadis-hadis disebut kusuf atau khusuf dan kedua istilah ini dalam hadis dapat dipertukarkan penggunaannya. Hanya saja dalam literatur fikih dan di kalangan fukaha, biasanya kata kusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan khusuf untuk menyebut gerhana Bulan. Sering juga digunakan bentuk ganda “kusufain” untuk menyebut gerhana matahari dan gerhana Bulan sekaligus.

B. Dasar Syari Salat Gerhana

Dasar syari salat gerhana matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,

عن عَائِشَةَ أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلاَةَ جَامِعَةً فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ [رواه البخاري واللفظ له ، ومسلم ، وأحمد] .

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw, maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jamiah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].

عن أبي مَسْعُودٍ قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ من الناس وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَقُومُوا فَصَلُّوا [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a., ia berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].

Hadis pertama merupakan sunnah fikliah yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.

C. Cara Melaksanakan Salat Kusufain

1. Apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan salat kusuf dan Imam menyerukan ash-shalatu jamiah. Salat kusuf dilaksanakan berjamaah, serta tanpa azan dan tanpa iqamah.

Dasarnya adalah hadis ‘Aisyah yang dikutip terdahulu di mana Imam menyerukan salat berjamaah, dan dalam hadis itu tidak ada azan dan iqamah.

2. Salat kusufain dilakukan dua rakaat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam dan sujud dua kali pada masing-masing rakaat.

Dasarnya adalah hadis Aisyah yang telah dikutip di atas, dan juga hadis an-Nasa’i berikut,

عن عَائِشَةَ قالت كَسَفَتْ الشَّمْسُ فَأَمَرَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً فَنَادَى أَنْ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَكَبَّرَ ... ... ... ثُمَّ تَشَهَّدَ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ فِيهِمْ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فَأَيُّهُمَا خُسِفَ بِهِ أو بِأَحَدِهِمَا فأفزعوا إلى اللَّهِ عز وجل بِذِكْرِ الصَّلاَةِ [رواه النسائي] .

Artinya: Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari lalu Rasulullah saw memerintahkan seseorang menyerukan ash-shalata jamiah. Maka orang-orang berkumpul, lalu Rasulullah saw salat mengimami mereka. Beliau bertakbir ... ... ..., kemudian membaca tasyahhud, kemudian mengucapkan salam. Sesudah itu beliau berdiri di hadapan jamaah, lalu bertahmid dan memuji Allah, kemudian berkata: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Maka apabila yang mana pun atau salah satunya mengalami gerhana, maka segeralah kembali kepada Allah dengan zikir melalui salat [HR al-Bukhari].

3. Pada masing-masing rakaat dibaca al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).

4. Setelah membaca al-Fatihah dan surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk dengan membaca tasbih yang lama, kemudian mengangkat kepala dengan membaca samiall±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu membaca al-Fatihah dan surat panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil membaca tasbih yang lama tetapi lebih singgkat dari yang pertama, kemudian bangkit dari rukuk dengan membaca samiall±hu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah itu mengerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.

Dasar butir ke-3 dan ke-4 adalah,

عن عَائِشَةَ أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم جَهَرَ في صَلاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ [رواه البحاري ومسلم ، واللفظ له]

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat khusuf; beliau salat dua rakaat dengan empat rukuk dan sujud [HR al-Bukhari dan Muslim, lafal ini adalah lafal Muslim].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلاةِ الْكُسُوفِ [رواه ابن حبان والبيهقي وأبو نعيم في المستخرج]

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat kusuf [HR Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Abu Nuaim dalam al-Mustakhraj].

عن عَائِشَةَ زَوْجِ النبي صلى الله عليه وسلم قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في حَيَاةِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَخَرَجَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ الناس وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فقال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قام فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى من الْقِرَاءَةِ اْلأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً هو أَدْنَى من الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ -ولم يذكر أبو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ- ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ اْلأُخْرَى مِثْلَ ذلك حتى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قبل أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قام فَخَطَبَ الناس فَأَثْنَى على اللَّهِ بِمَا هو أَهْلُهُ ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ [رواه مسلم]

Artinya: Dari Aisyah, isteri Nabi saw, (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa hidup Nabi saw. Lalu beliau keluar ke mesjid, kemudian berdiri dan bertakbir dan orang banyak berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah saw membaca (al-Fatihah dan surat) yang panjang, kemudian bertakbir, lalu rukuk yang lama, kemudian mengangkat kepalanya sambil mengucapkan samiall±hu liman ¥amidah rabban± wa lakal-¥amd, lalu berdiri lurus dan membaca (al-Fatihah dan surat) yang panjang, tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir lalu rukuk yang lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama, kemudian mengucapkan samiall±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian beliau sujud. [Abu Thahir tidak menyebutkan sujud]. Sesudah itu pada rakaat terakhir (kedua) beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, sehingga selesai mengerjakan empat rukuk dan empat sujud. Lalu matahari terang (lepas dari gerhana) sebelum beliau selesai salat. Kemudian sesudah itu beliau berdiri dan berkhutbah kepada para jamaah di mana beliau mengucapkan pujian kepada Allah sebagaimana layaknya, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka segeralah salat [HR al-Bukhari].

Perlu dijelaskan bahwa dua prasa faqtara’a qira’atan tawilatan dalam hadis Muslim yang disebutkan terakhir di atas diinterpretasi sebagai membaca al-Fatihah dan suatu surat panjang, karena tidak sah salat tanpa membaca al-Fatihah. Karena farsa pertama difahami sebagai membaca al-Fatihah dan surat panjang, maka frasa kedua yang sama dengan frasa pertama tentu juga difahami sama. Jadi pada waktu berdiri pertama dalam rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan surat panjang, maka pada berdiri kedua dalam rakaat pertama juga dibaca al-Fatihah dan surat panjang.

Pemahaman seperti ini dikemukakan oleh sejumlah ulama. Imam asy-Syafi’’i dalam kitab al-Umm menyatakan,

Dalam salat kusuf imam berdiri lalu bertakbir kemudian membaca al-Fatihah seperti halnya dalam salat fardu. Kemudian pada berdiri pertama setelah al-Fatihah, imam membaca surat al-Baqarah jika ia menghafalnya atau kalau tidak hafal, membaca ayat al-Quran lain setara surat al-Baqarah. Kemudian ia rukuk yang lama ... ... ..., kemudian bangkit dari rukuk sambil membaca samiallahu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian membaca Ummul-Quran dan surat setara dua ratus ayat al-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ... dan sujud. Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, lalu membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus lima puluh ayat al-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ..., lalu bangkit dari rukuk, lalu membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus ayat bal-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ... dan sujud [al-Umm, I: 280].

Kemudian asy-Syafii menjelaskan lagi bahwa apabila tertinggal membaca surat dalam salah satu dari dua berdiri itu, maka salatnya sah apabila ia membaca al-Fatihah pada permulaan rakaat dan sesudah bangkit dari rukuk pada setiap rakaat. Apabila ia tidak membaca al-Fatihah dalam satu rakaat salat kusuf pada berdiri pertama atau pada berdiri kedua, maka rakaat itu dianggap tidak sah. Namun ia meneruskan rakaat berikutnya, kemudian melakukan sujud sahwi, seperti hal ia apabila ia tidak membaca al-Fatihah dalam salah satu rakaat pada salat fardu di mana rakaat itu tidak sah [al-Umm, I: 280].

Hal yang sama dikemukakan pula oleh fukaha-fukaha yang lain. Al-Abdar³ (w. 897/1492), seorang fakih Maliki, mengutip al-Maziri yang menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk dibaca al-Fatihah dan suatu surat panjang, dan pada rakaat kedua juga demikian, artinya membaca al-Fatihah sebelum membaca masing-masing surat [at-Taj wa al-Iklil, II: 201]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223) dalam dua kitab fikihnya juga menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk pertama dibaca al-Fatihah dan surat pendek baik pada rakaat pertama maupun pada rakaat kedua [al-Kafi, I: 337-338; dan al-Mughni, II: 143].

5. Setelah selesai salat gerhana imam berdiri sementara para jamaah masih duduk, dan menyampaikan khutbah yang berisi wejangan serta peringatan akan tanda-tanda kebesaran Allah serta mendorong mereka memperbanyak istigfar, sedekah dan berbagai amal kebajikan. Khutbahnya satu kali karena dalam hadis tidak ada pernyataan khutbah dua kali.

Dasarnya adalah:

عَائِشَةَ أنها قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قام فَأَطَالَ الْقِيَامَ وهو دُونَ الْقِيَامِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وهو دُونَ الرُّكُوعِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ما فَعَلَ في اْلأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وقد انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ الناس فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ ينخسفان لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمْ ذلك فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ... ... ... [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم ومالك] .

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw. Lalu beliau salat bersama orang banyak. Beliau berdiri dan melamakan berdirinya kemudian rukuk dan melamakan rukuknya, kemudian berdiri lagi dan melamakan berdirinya, tetapi tidak selama berdiri yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan melamakan rukuknya, tetapi tidak selama rukuk yang pertama, kemudian sujud dan melamakan sujudnya. Kemudian pada rakaat kedua beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama. Kemudian beliau menyudahi salatnya sementara matahari pun terang kembali. Kemudian beliau berkhutbah kepada jamaah dengan mengucapkan tahmid dan memuji Allah, serta berkata: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, salat dan bersedekahlah... ... ... [al-Bukhari, lafal ini adalah lafalnya, juga Muslim dan Malik].

... ... ... فإذا رَأَيْتُمْ منها شيئا فَافْزَعُوا إلى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ [رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى]

Artinya: ... ... ... Maka apabila kamu melihat hal tersebut terjadi (gerhana), maka segeralah melakukan zikir, doa dan istigfar kepada Allah [HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa].

D. Waktu Pelaksanaan Salat Kusufain

Salat kusufain dilaksanakan pada saat terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,

عَنِ الْمُغِيرَةِ بنِ شُعْبَةَ قال انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يوم مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فقال الناس انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إبراهيم فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ [رواه البخاري]

Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syubah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].

Dalam hadis ini digunakan kata idz± (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kus­f al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juzi) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).

Ibn Qud±mah menegaskan,

Waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat gerhana ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ... ... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].

Imam ar-Rafii menegaskan,

Sabda Nabi saw Apabila kamu melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana) menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan. Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari yang keluar dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak (maksudnya waktu salat gerhana belum berakhir) dan seseorang (yang belum melaksanakan salat gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana hanya sebagian saja (V: 340).

Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].

E. Orang Yang Melakukan Salat Kusufain

Dari penegasan pada sub D di atas, maka dapat difahami bahwa salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami gerhana tidak melakukan salat kusufain. Dasarnya adalah hadis yang disebutkan terakhir [huruf D] di atas yang mengandung kata ra’aitum (‘kamu melihat’), yaitu mengalami gerhana secara langsung, serta kenyataan bahwa Rasulullah saw melaksanakan salat gerhana ketika mengalaminya secara langsung. Hal ini sesuai pula dengan interpretasi para fukaha bahwa apabila gerhana berakhir, berakhir pula waktu salat gerhana, dan apabila matahari tenggelam dalam keadaan gerhana juga berakhir waktu salat gerhana matahari. Tenggelamnya matahari jelas terkait dengan lokasi atau kawasan tertentu sehingga orang yang tidak lagi mengalami gerhana karena matahari telah tenggelam di balik ufuk, tidak melakukan salat gerhana. Begitu pula pula apabila gerhana bulan terjadi di waktu pagi menjelang terbitnya matahari, maka waktu salat gerhana bulan berakhir dengan terbitnya matahari. Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menegaskan,

فإن صَلاَةَ اْلكُسُوْفِ وَاْلخُسُوْفِ لاَ تُصَلَّى إِلاَّ إِذَا شَاهَدْناَ ذَلِكَ [مجموع الفتاوى ، 24: 258] .

Artinya: Sesungguhnya salat gerhana matahari dan gerhana Bulan tidak dilaksanakan kecuali apabila kita menyaksikan gerhana itu [Majmu al-Fatawa, 24: 258].

Perempuan juga ikut melaksanakan salat kusufain karena keumuman perintah melaksanakan salat gerhana dalam hadis-hadis yang dikutip di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab. *sy)

http://www.muhammadiyah.or.id

Tiga Pendekatan Dalam Mencari Kebenaran

Yogyakarta-Semangat pemahaman agama dalam tarjih adalah tajdid yang sesuai dengan identitas gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Tajdid memiliki dua arti, yaitu dalam bidang akidah, dan ibadah bermakna pemurnian, dan dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman,” ungkap Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. saat menyampaikan materi manhaj tarjih pada pelatihan ketarjihan dan hisab rukyat, Jum’at-Selasa (1-5/2008) di ruang laboratorium Information Technology Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IT UMY).

Dia menambahkan, pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), sejalan dengan epistimologi tersebut, Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan bayan, pendekatan irfan, dan pendekatan burhan, jelas pria yang juga menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Dalam pelatihan yang diikuti 60 peserta dari perwakilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se- Indonesia, Syamsul mengatakan pendekatan bayan adalah pendekatan untuk memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh. Untuk itu, pendekatan bayan mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab al-nuz­l, dan istinbath atau istidlal sebagai metodenya, karena dominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi, kata Syamsul.

Pada pendekatan burhan, menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan, dan hukum-hukum logika. Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan, tegas Syamsul. Pendekatan irfan bersifat subyektif, implikasi dari pendekatan irfan dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama, tambah Syamsul.

Di tempat lain, Dr. Imamuddin Yuliadi, S.E., M.Si. selaku ketua panitia pelatihan yang bekerjasama antara Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), dan Pusat Studi Falak UMY dengan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berharap dengan pelatihan ini dapat terbentuk wawasan, dan persepsi yang sama mengenai manhaj tarjih, dan metode penentuan awal bulan kamariah, serta muncul kader-kader di bidang ketarjihan, dan hisab rukyat.

sumber : http://www.muhammadiyah.or.id

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template